Banda Neira
Banda Neira
Banda Naira, atau Pulau Neira, merupakan bagian dari Kepulauan Banda yang terdiri dari sepuluh pulau, yang berada di bawah administrasi Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Banda Naira adalah salah satu dari tujuh pulau berpenghuni di Kepulauan Banda yang berbatasan dengan Seram di sebelah utara, Serua di sebelah selatan, Laut Banda di sebelah barat dan Watubela di sebelah timur. Banda Naira dikenal luas sebagai wilayah yang memproduksi sejumlah komoditi perdagangan rempah sejak abad pertama Masehi, seperti pala (buah, biji, dan bunga pala), cengkeh, dan kayumanis sebagaimana disebutkan dalam catatan perjalanan Tome Pires (Cortesao [ed.] 2015) bahwa, “Tuhan telah menciptakan Timor untuk kayu cendana dan Banda untuk Pala, serta Maluku untuk cengkih. Barang dagangan ini tidak dikenal di tempat lain di dunia ini kecuali di tempat-tempat tadi, dan telah saya tanyakan dan selidiki dengan teliti apakah barang ini terdapat di tempat lain, dan semua orang mengatakan tidak ada”.
Selain berkait dengan rempah, Banda Naira juga menyimpan kisah sejarah Indonesia kontemporer, yaitu sebagai lokasi pengasingan Sutan Syahrir dan Mohammad Hatta, bersama dengan Iwa Kusumasumantri dan dr. Cipto Mangunkusumo. Syahrir dan Hatta ditempatkan di rumah sewaan De Vries, seorang kaya Belanda yang tinggal di Batavia, pada tahun 1936. Pengasingan tersebut berlangsung hingga enam tahun, yaitu hingga 1942, sesaat sebelum pasukan Jepang menyerang Banda Neira pada 1 Februari 1942 (Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya 2015). Masa pengasingan yang dialami Syahrir secara khusus telah membentuk garis pemikiran yang kuat dan jernih pada Syahrir, sehingga ia mampu menunjukkan kiprah dan performa politik yang strategis pada masa Pendudukan Jepang, seperti pemikiran moderat dengan landasan sosialis-demokratis, marxisme yang revolusioner, dan rasionalitas yang tinggi (Kamal 1995).
Baik Hatta maupun Syahrir diasingkan ke Banda Naira karena potensi keduanya dalam mendorong semangat pergerakan dan perjuangan mencapai kemerdekaan di Jakarta. Sebelumnya, keduanya diasingkan ke Boven Digul, Papua pada 1934. Hatta sendiri mendapatkan tawaran bahwa ia bisa saja dipulangkan ke Jakarta, tetapi ia akan dipekerjakan sebagai pegawai pemerintah kolonial. Hatta menolak dan memutuskan untuk tetap menjadi orang buangan. Keduanya banyak berinteraksi dengan penduduk sekitar. Hatta dan Syahrir mengajar anak-anak dalam “Kelas Sore” di rumah tahanannya, mengangkat anak beberapa anak Banda Naira, termasuk juga mengadakan diskusi bersama Kusumasumantri dan Mangunkusumo.
Dalam kelas sore tersebut setidaknya 20 anak hadir menjadi murid kedua nya,seperti cucu cuc dari keluarga Baadilla, anak-anak angkat Mangunkusumo, yaitu Donald dan Louis, anak-anak dari kapten kapal yang menikah dengan perempuan Australia, yaitu Husein dan Cahci Maskat, serta beberapa anak yang sebelumnya bersekolah di Ambon, Makassar, dan Jawa, tetapi tidak sempat menuntaskannya. Sejumlah anak dari keluarga petani kebun pala pun turut hadir sesekali, hanya saja keluarga petani tersebut merasa segan dan takut jika anak-anak mereka berinteraksi dengan orang-orang pengasingan. Hal ini diduga disebabkan posisi mereka yang bekerja di bawah usaha perkebunan milik pemerintah, sehingga kedekatan yang sedikit saja terhadap orang-orang terasing dapat membuat mereka terjebak dalam masalah.
jadii pengen kesana🥹
BalasHapuswaw
BalasHapus